Sabtu, Februari 19

Obat bebas : pengetahuan dasar

OTC adalah singkatan dari Over-The-Counter, merupakan obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter -kita menyebutnya obat bebas. Bisa dipastikan hampir setiap orang pernah mengonsumsi obat bebas ini. Ada 4 golongan obat bebas yang paling populer, yaitu pereda rasa sakit, penenang (antihistamin), ‘obat’ pilek (dekongestan), dan ‘obat’ batuk. *Ngomongs, kenapa saya gunakan ‘()’? Karena sebenarnya tablet, pil, atau kaplet tersebut bukanlah untuk mengobati penyakit, tetapi hanya meredakan gejala. Ini akan dibahas belakangan*
Pereda rasa sakit/pain relievers
Pereda rasa sakit ini ada 2 jenis, yaitu obat anti-peradangan non-steroid (nama bekennya di dunia per-obat-an adalah NSAIDs/nonsteroidal anti-inflammatory drugs) dan parasetamol alias asetaminofen. Perbedaan ini didasarkan pada cara kerjanya. NSAID bekerja dengan menghentikan pengeluaran prostaglandin, senyawa pemicu rangsangan pada ujung syaraf kulit, otot, dan persendian yang menimbulkan sensasi sakit. Contoh NSAID yang paling populer yaitu aspirin dan ibuprofen. Umumnya NSAID memiliki efek samping yang lebih berat daripada parasetamol. Parasetamol bekerja dengan memblokir sensasi sakit pada otak dan tulang belakang. Pereda rasa sakit yang mana yang anda pilih?
Antihistamin
Antihistamin bekerja dengan cara menutup reseptor syaraf yang menimbulkan rasa gatal, iritasi saluran pernafasan, bersin, dan produksi lendir (alias ingus). Antihistamin ini ada 3 jenis, yaitu Diphenhydramine, Brompheniramine, dan Chlorpheniramine. Yang paling sering ditemukan di obat bebas di Indonesia adalah golongan klorfeniramin (biasanya dalam bentuk klorfeniramin maleat).
Dekongestan 
Dekongestan bekerja dengan mempersempit pembuluh darah di hidung, sehingga menghambat aliran darah dan menciutkan pembengkakan jaringan di dalam hidung. Satu-satunya dekongestan yang digunakan dalam obat bebas adalah pseudoefedrin, yang sayangnya baru-baru ini penggunaannya diawasi lebih ketat (dengan kata lain batasan dosis maksimumnya diperkecil) akibat efek samping yang besar dan efektivitasnya yang rendah. Sedangkan senyawa yang efek sampingnya kecil dan lebih efektif justru tidak populer di kalangan produsen dekongestan karena margin keuntungan yang dapat diperoleh lebih kecil (baca artikel tentang pseudoefedrin di website prof. Iwan Darmansjah). *Jadi ingat iklan I*za yang dengan ‘bangga’ mengatakan "Dengan pseudoefedrin!"

‘Obat’ batuk

‘Obat’ batuk digolongkan menjadi dua; antitusif dan ekspektoran (kali ini iklan tidak menipu ). Antitusif bekerja dengan menekan refleks batuk, contohnya Dextromethorphan. Sedangkan ekspektoran -mungkin- bekerja dengan mengencerkan lendir sehingga lebih mudah dikeluarkan pada saat batuk (artinya, anda tetap harus batuk untuk mengeluarkan lendir ini ), contohnya Guaifenesin.
 

Nah, saatnya kita menuju ke kenyataan yang tidak kalah pentingnya. TIDAK ADA OBAT UNTUK SELESMA (common cold)! *kalau anda belum tahu beda antara selesma dan flu, coba ikut kuis di mayoclinic dulu* Obat-obat bebas populer yang jenisnya baru saya bahas tadi hanya dapat meringankan gejala sampai tubuh anda dapat melawan virus yang menyerang, dan tidak membuat selesma anda sembuh total. Yang wajib anda ingat adalah selalu perhatikan kandungan aktif dan non-aktif obat beserta efek samping dan kontra indikasinya. Jangan sampai keadaan menjadi lebih buruk hanya karena lambung anda sedang sakit dan anda minum obat yang dapat mengiritasi lambung!
Bolehkah Bayi Diberi Obat Bebas?
Kompas.com - Kebanyakan orang tua tak berani memberikan obat bebas pada bayi. Padahal, boleh, kok, bayi diberi obat bebas. Namun dengan catatan, ia memang benar-benar membutuhkannya.
Obat luar lain yang juga perlu resep tapi kerap dipakai serampangan ialah antibiotik.
Tentu kita boleh saja menggunakan obat bebas untuk mengatasi sakit si kecil, terutama bila si kecil usianya sudah 6 bulan ke atas. Biasanya obat bebas dibagi 2, yaitu obat luar dan obat telan. "Umumnya, obat luar berupa cairan, salep atau ointment yang digunakan untuk mengatasi luka, bentol-bentol, gatal, atau lainnya," terang dr. Waldi Nurhamzah SpA.
Adapun obat luar bebas yang paling sering dipakai adalah obat antiseptik untuk luka (merkurokrom, boorwater, rivanol, povidone iodine) dan minyak penghangat seperti minyak telon atau minyak tawon. Namun kita harus hati-hati dalam pemberiannya. Perhatikan, apa ada reaksi yang timbul setelah pemberian berupa kemerahan, bentol-bentol, atau lainnya. Soalnya, bisa saja, kan, si kecil tak tahan terhadap obat luar itu.
Sebenarnya, lanjut Waldi, tak banyak obat luar yang bisa dibeli tanpa resep dokter. Misal, obat oles yang mengandung steroid, "sangat ampuh memberantas gatal, eksim, dan beberapa reaksi alergi pada kulit. Namun karena sifat kerasnya, obat luar yang mengandung steroid hanya boleh diperoleh dengan resep saja." Contoh obat ini antara lain Apolar, Benoson, Decoderm, Elocon, Lox, Kenacort, Locoid, Synalar.
Bila obat tersebut dioleskan pada kulit bayi, sebagian obat akan terserap oleh tubuh bayi hingga dapat meningkatkan konsentrasi obat yang tak wajar dalam tubuh bayi. Selain itu, dapat pula terlihat reaksi kulit terhadap obat semisal kulit yang diolesi salep tampak keputihan.
Obat luar lain yang juga perlu resep tapi kerap dipakai serampangan ialah antibiotik. Ini berbahaya. Bila si kecil sensitif pada salep itu, reaksi yang terjadi akan berbahaya. Misal, salep yang mengandung penisilin, tetrasiklin, gentamisin, neomisin. "Jika diberikan pada bayi atau anak yang tak tahan, akan timbul reaksi hebat." Meski cuma dioleskan sedikit, reaksinya bisa fatal, lo.
Obat telan
Untuk obat telan, yang paling pas buat bayi tentulah berupa sirup. Selain lebih mudah menakarnya, cara menyimpannya juga tak sulit; biasanya tak perlu disimpan di lemari es, cukup dalam suhu kamar.
Bila kita ke dokter, mungkin masih ada beberapa dokter yang memberikan obat dalam bentuk puyer untuk bayi. Namun jenis obat bebas telan yang dapat diberikan pada bayi amat terbatas. Umumnya obat pereda panas, obat batuk dan pilek, serta larutan rehidrasi.
Penting diketahui, obat bebas ditandai lingkaran hijau pada kemasannya. Dalam banyak buku petunjuk penggunaan obat, jenis ini diklasifikasikan sebagai jenis B, hampir terdapat pada semua obat pereda panas. Ada pula beberapa obat yang ditandai lingkaran biru, artinya obat ini masih boleh diperoleh dengan bebas tapi dalam jumlah terbatas. Kebanyakan obat bebas untuk pereda batuk/pilek termasuk dalam golongan ini.
Yang bikin bingung, saat ini banyak obat bebas dengan berbagai merek ditawarkan. Nah, mana yang harus dipilih? Menurut Waldi, sesuaikan yang rasanya disukai si kecil. Jadi, kita bisa pilih merek apa saja asalkan sesuai selera si kecil; entah dengan rasa stroberi, jeruk, anggur, atau lainnya.
Yang penting diperhatikan obat itu memang boleh diberikan untuk usia bayi/anak. Jangan lupa, lihat tanggal kadaluarsanya. Setelah obat diperoleh, selalu baca lebih dulu catatan penjelasan yang terlampir dalam kemasan. Di situ tertera antara lain dosis dan jadwal pemberian serta efek sampingnya.
Bila si kecil tak jua sembuh setelah diberi obat, jangan langsung ganti obat karena tak ada obat bebas yang bisa menghilangkan penyakit dengan seketika. Bukankah semua obat butuh proses untuk menyembuhkan? Misal, si kecil panas. Sudah dua kali diberi obat A tapi belum juga turun, lalu diganti obat B ternyata langsung turun. Jangan buru-buru bilang obat B manjur sementara obat A tak manjur. Pasalnya, kebetulan panas si kecil memang sudah waktunya turun ketika diberikan obat B.
Lagi pula, bisa terjadi si kecil tak kunjung sembuh lantaran obatnya diberikan dengan dosis yang salah. Misal, si kecil yang baru berusia 5 bulan punya badan agak besar untuk anak seusianya. Berarti, dosis yang tertera di brosur dengan kalimat "untuk bayi di bawah 6 bulan" tentu enggak pas bila diberikan kepadanya. Nah, untuk tahu dosis yang tepat, si kecil mau tak mau perlu dibawa ke dokter.
Jadwal dan lama pemberian
Perhatikan pula jadwal pemberian obat; sesuaikan dengan yang tertera di brosur. Maksimal pemberian biasanya 4 kali sehari. Dengan demikian, jarak pemberiannya 6 jam. Jangan lupa, satu hari sama dengan 24 jam. "Namun sering orang tak menghitung seperti itu. Banyak yang menghitung satu hari hanya 12 jam hingga jadwal pemberian obat bila dibagi 4 hanya 3 jam sekali. Ini jelas salah," tutur Waldi. Apalagi bila obat hanya diberikan waktu siang, sedangkan malamnya tak diberi. Ini, kan, enggak efektif.
Lazimnya diperkenankan mencoba memberikan obat bebas selama 2-3 hari saja. Selebihnya, sebaiknya segera menghubungi tenaga kesehatan untuk memastikan apa penyakit dan pengobatannya. Tentu ada kasus yang tak perlu menunggu 2-3 hari dan dicoba-coba dengan obat, seperti bila si kecil muntah terus-menerus, kejang, atau tampak tak sadar.
Antibiotik Picu Risiko Asma pada Bayi
Ilustrasi

JAKARTA, KOMPAS.com — Peresepan obat-obatan pembunuh kuman atau antibiotik pada bayi sebelum mencapai usia enam bulan ternyata dapat mengundang risiko. Sebuah penelitian di AS menyebutkan, bayi yang mendapat antibiotik berisiko 70 persen lebih tinggi menderita asma pada masa kecilnya.
Para peneliti di Universitas Yale mengindikasikan, bayi menghadapi peningkatan risiko asma hingga 40 persen bila mendapat resep antiobiotik untuk sekali pengobatan di bulan-bulan awal kelahirannya. Risiko akan naik menjadi 70 persen bila mereka mendapat resep kedua untuk mengobati infeksi yang sulit disembuhkan.
Kajian para ilmuwan ini adalah serangkaian temuan terbaru dalam ilmu obat-obatan yang berkaitan dengan asma pada anak-anak. Para ahli terbagi pendapatnya mengenai dampak antibiotik ini. Ada yang meragukan apakah memang antibiotik menjadi penyebab, ataukah bayi yang dilibatkan dalam studi sudah memiliki bakat mengidap asma.
Meski demikian, dalam laporan terbaru yang bakal dimuat American Journal of Epidemiology, para ilmuwan menyimpulkan bahwa hubungan tersebut memang kuat. Bahkan setelah memperhitungkan faktor lainnya seperti riwayat asma dalam keluarga.
Dalam risetnya, para ilmuwan di Universitas Yale memantau 1.400 anak untuk melihat apakah peresepan antiobiotik pada usia dini menyebabkan kasus asma lebih tinggi pada usia enam tahun.
Anak-anak yang dilibatkan adalah  mereka yang diberi resep antibiotik sebelum usia enam bulan untuk masalah infeksi di luar infeksi bagian dada yang identik dengan gejala asma. Peserta juga termasuk anak-anak yang dilahirkan dari orangtua yang tidak memiliki riwayat asma.
Hasilnya, menunjukkan peningkatan besar risiko terserang asma pada anak-anak yang diberi antibiotik sebelum usia mereka enam bulan meskipun anak tersebut tak punya riwayat asma.
"Menggunakan antibiotik, khususnya dalam spektrum yang luas, dapat mengubah flora mikroba dalam usus anak. Hal itu menimbulkan ketidakseimbangan dalam sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan buruknya respons alergi," papar Dr Kari Risnes, pemimpin penelitian.
Risnes mengharapkan hasil penelitian ini menjadi motivasi khusus bagi dokter agar menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu, terutama pada anak-anak berisiko rendah.




Sumber : daily
5 Tanda Tubuh Perlu Antibiotik

KOMPAS.com Sering kali ketika tubuh memberikan sinyal sakit seperti hidung tersumbat, batuk, atau tenggorokan sakit, kita langsung mencari si obat super, antibiotik.

Antibiotik memang sangat efektif membunuh bakteri (selama obatnya cocok dengan jenis bakterinya). Namun, 90 persen infeksi pernapasan, seperti flu, disebabkan oleh virus. Penyakit virus adalah penyakit yang sembuh sendiri dalam 5-7 hari.

"Kebanyakan infeksi saluran pernapasan atas disebabkan virus, hanya sedikit saja yang disebabkan bakteri. Bahkan hanya 2 persen dari infeksi sinus yang ditimbulkan bakteri dan perlu antibiotik," kata Lauri Hicks, Direktur Medis Center for Disease Control and Prevention.

Banyak kerugian yang dihadapi akibat pemakaian antibiotik berlebihan atau irasional. Yang paling utama adalah meningkatnya resistensi terhadap bakteri dan terbunuhnya kuman yang baik dan berguna di dalam tubuh. Tempat yang semula ditempati bakteri baik ini akan diisi bakteri jahat atau disebut bakteri super karena bakteri yang tidak terbunuh akan bermutasi menjadi kuman yang resisten.

Kebanyakan infeksi bakteri memang memerlukan antibiotik. Sayangnya agak sulit membedakan infeksi virus dengan infeksi bakteri hanya berdasarkan gejalanya saja. Secara umum ini adalah lima indikasi kapan kita perlu antibiotik.

1. Demam
Apabila Anda mengalami demam, gemetar, dan menggigil, besar kemungkinan Anda terinfeksi bakteri. Tetapi, gejala ini juga sering diakibatkan oleh virus flu. Oleh karena itu, menurut Dr Frank Esper, ahli penyakit infeksi anak, jika di sekitar lingkungan Anda banyak yang sedang terjangkit flu, dokter tidak akan memberikan antibiotik.

2. Lamanya sakit
Infeksi virus yang berlangsung terlalu lama bisa berkembang menjadi serius dan mengundang bakteri, misalnya infeksi sinus. Indikasi pemberian antibiotik adalah jika batuk dan pilek sudah berkelanjutan selama lebih dari 10-14 hari dan terjadi sepanjang hari (bukan hanya pada malam dan pagi hari saja).

3. Warna lendir hijau
Sekresi saluran napas akibat infeksi virus seharusnya encer dan bening. Jika cairan hidung sudah berwarna hijau dan kental, itu adalah tanda infeksi bakteri. Namun, sering kali perubahan warna dahak dan ingus menjadi kental dan kehijaun ini merupakan perjalanan klinis ISPA karena virus. Itu sebabnya, gejala ini bukan indikasi utama pemberian antibiotika.

4. Sakit tenggorokan
Meski tenggorokan berwarna merah dan nyeri saat menelan, dokter akan mencari tanda bercak putih sebagai petunjuk adanya bakteri sebelum meresepkan antibiotik. Kebanyakan gejala flu diawali dengan sakit tenggorokan, namun nyeri tenggorokan yang tidak diikuti dengan gejala flu lainnya bisa jadi tanda infeksi bakteri.

5. Tes lab
Membawa contoh dahak atau cairan hidung ke laboratorium memang cara yang efektif untuk mengetahui ada-tidaknya bakteri. Namun, kultur bakteri ini membutuhkan waktu sedikitnya dua hari dan tentu saja memakan biaya. Oleh karena itu, biasanya dokter tidak meminta tes ini, kecuali Anda dicurigai terkena infeksi tifus.
Sumber : health


Kalau Antibiotika Lupa Diminum
Kompas.com - Saat memberi resep antibiotika, biasanya dokter akan menuliskan berapa kali seorang pasien harus mengonsumsinya dalam waktu sehari. Ada yang cukup sekali saja, ada pula yang harus 3-4 kali sehari.

Idealnya, waktu untuk untuk meminum antibiotika adalah sama. Frekuensi tiga kali sehari berarti antibiotika diminum setiap 8 jam sekali. Tengah malam pun kalau memang jadwalnya untuk minum antibiotika, ya harus bangun. Itu yang ideal.

Kesulitan bisa timbul kalau antibiotika diresepkan dikonsumsi setelah makan. Menjadi sulit karena jam makan bisa berbeda-beda waktunya. Jika sarapan pada pukul 07.00, makan siang pukul 12.00, dan makan malam pukul 19.00, berarti jarak antara konsumsi obat berbeda-beda. Ada yang jaraknya pendek, ada pula yang panjang.

Namun, kebanyakan antibiotika disarankan dikonsumsi sebelum makan agar penyerapannya lebih baik. Kecuali beberapa jenis antibiotika yang bisa menimbulkan iritasi, seperti golongan kuinolon untuk infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi saluran kemih. Antibiotika golongan tersebut menimbulkan mual, sehingga biasanya disertai dengan obat omephazole.

Bagaimana kalau pasien lupa mengonsumsi obat antibiotika? Obat yang mestinya diminum tiga kali sehari, hanya diminum dua kali saja? Menyikapi hal ini, dr. Hudyono, MS, Sp.OK, membolehkan antibotika diminum dua tablet pada waktu berikutnya.

"Boleh dosisnya dobel selama efek samping obat tersebut ringan dan lupanya tidak terus-terusan.  Dan yang pasti, antibiotika diminum pada hari yang sama atau tidak lebih dari 24 jam," kata staf pengajar dari FK Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta ini.

Penggunaan dosis ganda ini harus hati-hati, sebaiknya atas saran dokter. Yang jelas, sangat tidak dianjurkan untuk terus-terusan menggandakan dosis obat. Sebab, semakin sering lupa, efektivitas obat akan menurun.

Belum lagi kemungkinan efek samping yang mungkin muncul, seperti lambung terasa perih bahkan timbul diare. Diare merupakan salah satu efek samping bila mengonsumsi antibiotika berlebihan.

Kalau enggan menggandakan dosis, lupakan saja satu antibiotika yang tidak dikonsumsi itu. Hanya saja, perlu diingat bahwa efikasinya juga bakal menurun meski tak terlalu banyak karena batasannya masih dalam rentang toleransi.

Namun, bila dibandingkan dengan pasien yang teratur minum antibiotika, hasilnya jauh lebih baik pasien yang teratur minum obat. (GHS/dee)

Tidak ada komentar: