Sabtu, Agustus 1

Skenario Industri Farmasi di Indonesia

Skenario Industri Farmasi Indonesia Hingga 2025

Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) menyiapkan ‘roadmap’ industri farmasi Indonesia hingga 10 tahun ke depan. Ingin masuk 15 besar di dunia dengan target pasar lebih dari Rp 700 triliun.
Pekerja sedang melakukan proses produksi formulasi obat/ ilustrasi. Mayoritas industri farmasi dalam negeri saat ini adalah industri formulasi atau industri pembuatan obat jadi. GPFI memprediksikan pangsa pasar lokal farmasi mencapai Rp 450 triliun pada tahun 2025. Sementara target ekspor Rp 250 triliun. (Foto: Kimia Farma)


Hari terakhir pameran kefarmasian tingkat dunia di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, 10 April 2015, kian menambah optimisme para pelaku bisnis farmasi di dalam negeri.
Optimisme ini muncul seiring dengan padatnya pengunjung pameran ini dari awal hingga akhir. Pameran ini menjadi ajang transaksi antara penjual dan pembeli bahan baku obat-obatan.
Paling tidak, antara penjual dan calon pembeli bahan baku obat-obatan telah saling mengenal. Selanjutnya, mereka akan melakukan transaksi dalam pertemuan berikutnya.
“Pameran ini peluang yang sangat besar bagi para pelaku industri farmasi untuk wilayah Asia Tenggara dalam mengembangkan industri bahan baku lokalnya,” ujar Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Maura Linda Sitanggang, di Jakarta.
Optimisme para pelaku bisnis farmasi juga terlihat dalam roadmap industri farmasi yang dibuat Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI). Dalam skenario bisnis ini, GPFI memprediksikan pangsa pasar lokal farmasi diperkirakan mencapai Rp 450 triliun pada tahun 2025. Sementara target ekspor Rp 250 triliun.
Ketua Umum Pharma Materials Management Club (PMMC) Kendrariadi Suhanda mengungkapkan, kemajuan industri bahan baku farmasi perlu juga andil pemerintah.
“Pemerintah perlu mendorong masuknya investasi industri bahan baku farmasi. Sementara, pelaku industri farmasi juga perlu memelihara jaringan dengan industri pembuat bahan baku obat di luar negeri,” ujarnya kepada VARIA.id di Jakarta, akhir pekan lalu.

Industri formulasi
Menurut data roadmap tersebut, jumlah industri farmasi saat ini antara 214-224 perusahaan. Terdiri dari 4 BUMN (Biofarma, Indofarma, Kimia Farma, Phapros), 24 multinasional, dan 186-196 swasta nasional Indonesia.
Data tersebut juga menyebutkan, mayoritas industri farmasi dalam negeri saat ini adalah industri formulasi atau industri pembuatan obat jadi. Pertumbuhan pasarnya, dalam beberapa tahun terakhir mencapai 10-14 persen per tahun.
Pada 2013, misalnya, pangsa pasar farmasi Indonesia mencapai Rp 53,8 triliun. Angka ini 27 persen dari total pangsa pasar farmasi ASEAN dan yang terbesar. Sementara nilai ekspor industri farmasi mencapai Rp 2 trilliun dan impor Rp 21 trilliun.
“Untuk impor, kita masih dominasi bahan baku,” ujar Kendrariadi.
Masih menurut roadmap tadi, hingga saat ini industri farmasi nasional mendominasi 73 persen pangsa pasar lokal. Satu-satunya negara ASEAN yang pangsa pasarnya didominasi industri nasional.

Sejumlah tantangan
Ketua Umum Gabungan Perusahaan farmasi Indonesia, Johannes Setijono, mengungkapkan, roadmap ini disiapkan guna membangun industri farmasi Indonesia menjadi industri yang strategis.
Sejumlah tantangan dan peluang sudah mengadang sektor ini dalam 10 tahun ke depan. Salah satu tantangan yang sudah di depan mata adalah akan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun ini.
“Pemberlakukan MEA ini sekaligus menjadi peluang besar bagi industri farmasi dalam negeri,” ujar Johannes.
Peluang lainnya, peningkatan pendapatan per kapita akan meningkatkan kepedulian masyarakat pada kesehatan. Sehingga menaikkan pengeluaran kesehatan ke arah 4-5 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Target dari roadmap ini, menurut Johannes, menjadikan industri farmasi dalam negeri masuk 15 besar di dunia, dengan besaran pasar diprediksikan lebih dari Rp 700 triliun.
Dia juga berharap, industri farmasi nasional ke depan berbasiskan riset dan pengembangan serta manufaktur, dengan fokus produk biologik dan natural yang berdaya saing dan berorientasi ekspor.*

Potensi produk farmasi indonesia:
  • Bioteknologi & Vaksin
  • Herbal & Maritim (Natural)
  • Drug Delivery System (DDS)
  • Diagnostik (IVD / In-vitro Diagnostic)
  • Cell Therapy




BPJS Dongkrak Pasar Farmasi Jadi Rp 69 T


Sumber: Investor Daily
JAKARTA - Pasar farmasi nasional diproyeksikan meningkat 9% menjadi Rp 69,4 triliun tahun ini, dibanding 2013 sebesar Rp 63,8 triliun. Salah satu faktor pendongkraknya adalah berlakunya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dijalankan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Berdasarkan laporan riset terbaru Business Monitor International (BMI) yang dilansir belum lama ini, proyeksi itu tidak berubah dibanding kuartal sebelumnya. BMI menilai Indonesia adalah pasar farmasi yang paling menjanjikan di Asia Tenggara.
Hal ini ditopang besarnya populasi penduduk Indonesia yang merupakan terbesar di Asia Tenggara. Selain itu, prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia solid dalam beberapa tahun ke depan. Faktor lainnya adalah kenaikan permintaan obat penyakit-penyakut tertentu, peralatan medis, dan layanan kesehatan.
“Implementasi asuransi kesehatan universal yang dijalankan BPJS turut menjadi katalis pertumbuhan pasar farmasi. Berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Desember 2015 kian memperkuat prospek bisnis farmasi Indonesia,” demikian tulis BMI dalam laporan risetnya.
Meski begitu, BMI menilai, layanan kesehatan di Indonesia belum terlalu luas. Tahun ini, layanan BPJS baru mencakup 40-50% penduduk. Oleh karena itu, butuh waktu bagi perusahaan farmasi untuk mengkapitalisasi potensi pasar farmasi nasional yang sangat besar. BMI memperkirakan belanja kesehatan Indonesia tahun ini naik 14% menjadi Rp 325 triliun dari 2013 sebesar Rp 285 triliun.
Manuver Nyonya Meneer
Di sisi lain, produsen jamu dan obat tradisional (OT) Nyonya Meneer berekspansi ke Malaysia dan Vietnam. Ekspansi itu ditujukan untuk mendukung
pemasaran produk-produk Nyonya Meneer di luar negeri.
CEO Nyonya Meneer Charles Saerang mengatakan, investasi dilakukan dengan skema kerja sama produksi, yakni memanfaatkan fasilitas produksi pabrik lain untuk memproduksi produk perseroan.
“Kami masuk ke Vietnam. Nyonya Meneer akan investasi dengan mekanisme maklon di sana. Jadi, produknya kita olah di sana, tetapi menggunakan merek kita,” kata dia.
Dia menyatakan, pihaknya akan memasok bahan baku ke perusahaan maklon dan tenaga ahli. Nilai investasi proyek ini tidak besar, hanya US$ 1 juta. “Saat ini, sudah mulai persiapan. Produknya yang berkaitan dengan minyak telon,” kata Charles.
Sistem serupa, kata dia, akan diterapkan di Malaysia. Nilai investasi US$ 500 ribu.
Sementara itu, Charles yang juga ketua umum Gabungan Pengusaha (GP) Jamu memperkirakan, omzet jamu nasional tahun depan diprediksi stagnan dari posisi tahun 2014 sebesar Rp 3 triliun. Adapun produk olahan lainnya seperti suplemen makanan berbahan dasar jamu bisa mencapai Rp 14 triliun.
“Jika ditambah produk kosmetik dan olahan lain, omzet bisa mencapai Rp 80 triliun,” kata Charles.
Charles mengatakan, pertumbuhan jamu yang stagnan disebabkan oleh regulasi di sektor jamu dalam negeri. Jika kondisi tersebut tetap dibiarkan, industri jamu nasional tidak akan berkembang dan terancam melorot. Karena itu, dia menambahkan, GP Jamu mendesak pemerintah menempatkan pembinaan bisnis dan industri jamu berada di bawah Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
“Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menilai jamu adalah obat akibatnya sektor ini tidak berkembang. Peraturan yang ada justru menyebabkan pertumbuhannya stagnan, bahkan bisa melorot. Akibatnya, yang menikmati adalah trader dan jamu impor termasuk yang ilegal banyak masuk ke sini,” kata dia.
Dirjen Basis Industri Manufaktur (BIM) Kemenperin Harjanto mengatakan, usulan GP Jamu tersebut masih dalam pembahasan. “Kami akan duduk bersma membahas soal ini, termasuk harmonisasi aturan tiap kementerian terkait mengenai produk jamu,” kata dia.







Rakyat Jarang Berobat, Pasar Industri Farmasi Indonesia Cuma Rp 56 Triliun

natalia lee
Dibandingkan kebanyakan negara lain, pengeluaran untuk perawatan kesehatan di Indonesia sangat kecil. Yaitu hanya 3,15% dari PDB, dibandingkan dengan rata-rata di dunia 6,3%.
Angka tersebut bahkan jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga (BMI Q2014). Ini berarti akses masyarakat terhadap produk farmasi dan jasa perawatan kesehatan di Indonesia masih rendah.
“Angka 3,15% itu sedikit lebih kecil di bawah Vietnam dan sedikit lebih unggul dibanding Myanmar.  Pengeluaran farmasi masyarakat Indonesia Rp 200 ribu/orang/tahun. Itu hanya untuk obat-obatan. Sekitar Rp 1 juta/orang/tahun kalau termasuk rawat inap rumah sakit dan lain-lain,” tutur Ketua Umum International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) Luthfi Mardiansyah dalam diskusi ‘Outlook Industri Farmasi 2015: Tantangan dan Isu Penting Dunia Kesehatan’ di The Belly Clan Restaurant, Gedung Intiland Tower, Jakarta, Selasa (20/1).
Dengan populasi 250 juta jiwa, dapat dihitung bahwa besaran pasar industri farmasi di Indonesia hanya 56 triliun per tahun.  Bukan angka yang besar bagi pasar besar seperti Indonesia.  Obat ethical (obat dengan resep dokter) menguasai 59% serapan pasar, sisanya obat bebas (OTC) sebesar 41%.  Di negara lain, pemerintah/asuransi telah meng-cover biaya obat dan perawatan kesehatan sehingga perkembangan industri farmasinya lebih tinggi.
Berdasarkan nilainya, Luthfi memaparkan pertumbuhan industri farmasi tahun 2014 lebih rendah dari tahun sebelumnya, yaitu hanya 8,6% dimana 4,7% diantaranya adalah kontribusi dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Namun, ia optimis tahun ini (2015) pertumbuhan nilainya akan kembali normal 12-13%. IPMG sangat mendukung program JKN karena akan mempermudah masyarakat untuk memperoleh pengobatan dan perawatan kesehatan tanpa membebankan pesertanya


Tidak ada komentar: